Jumat, 10 Juni 2011

Ujian Kita: Soal Kejujuran



Beragam suasana diri dikala mendekati hari-hari ujian:
“Duh, takut ni bentar lagi mau ujian... Malah belom persiapan apa-apa lagi..???”
“Eh, awas ya entar! Kalo gak bagi-bagi...” (ngancem ke temennya yang dianggap pinter)
“Gua sih nyantai aja, lagian pengawasnya udah berkali-kali gua bisa kelabuin dengan skill “nge-bad” warisan kakak kelas! Wakakakkak..”
“Ah, gue sih gak mau nyontek! Itu kan gak boleh. Bisa dosa kita kalo ngelakuin! Tapi kalo nanya langsung ke temen kan artinya saling berbagi, jadi itu gak nyontek! ^^” (beda gak sih?!)
“Kadang-kadang mata ini emang suka beruntung banget! Tiba-tiba lagi lirak-lirik gak sengaja keliatan jawaban temen sebelah.. Heheh, hokiii..! (padahal hobinya emang ngelirik)
Itu mungkin yang masih kita dengar disekitar kita ketika masa-masa ujian akan datang. Namun, biasanya yang masih suka membicarakan “skill” nyontek ini disela-sela obrolan senggang bareng teman-temannya adalah ketika kita masih duduk di bangku sekolah. Hasil pengamatan saya, semakin dewasa kita cenderung menyembunyikan atau lebih “pendiam” dengan “skill” kita yang satu ini. Saya mengambil kata ganti “kita” karena memang masih sangat banyak yang melakukan hal demikian. Entah ada yang bilang, “skill” nyontek (baca: nge-bad) adalah budayanya orang indonesia. Entah budaya ini hasil domestikasi dari mana?
Terkadang, kita kerap lupa dengan diri kita. Pepatah ini yang mungkin tepat untuk kasus di atas. “ala bisa karena biasa”. Biasa untuk melakukan hal-hal baik akan menjadikan kita bisa untuk melakukan semua hal-hal kebaikan. Namun, kalau dibalik pun kita bisa melakukannya.
Kita kerap lupa dengan diri kita. Kebiasaan nyontek ini atau kebiasaan men-toleransi hal-hal buruk yang kita lakukan tanpa merasa keburukannyalah yang telah kita lakukan, kebiasaan itulah yang membuat kita merasa “slow, everything is fine..” Menyontek bukan lagi menjadi hal yang tabu, saat kuis ada kesempatan untuk itu, saat ujian ada kesempatan untuk itu, saat berkarya pun ada kesempatan untuk menyontek. Jangan deh kita tanamkan dalam kebiasaan kita untuk melakukan hal-hal keburukan yang membuat kita tidak sadar akan keburukan yang kita lakukan. Karena, kadang kita hanya berorientasi dengan hasil bukan proses. Ingin hasil yang terbaik tak peduli dengan proses yang tidak bersih. Jangan! Jangan sekali-kali kita lakukukan itu lagi! Karena itu akan kita pertanggungjawabkan, teman.
Lebih miris lagi hati ini tahu, bahwa kerap banyak terjadi di indonesia, negeri kita tercinta, kasus sekolah dan ujian nasionalnya. Ujian nasional adalah ujian penentu kelulusan dan keberlanjutan studi di jenjang sekolah dasar sampai menengah. Menjadi sorotan saya adalah, bagaimana sekolahlah yang sangat khawatir dengan kemampuan anak-anak didiknya, sekolah yang lebih memaksimalkan jalan pintas untuk kesuksesan anak-anak didiknya, sampai-sampai harus membuat sekenario apik kala Ujian Nasional berlangsung. Sekenario yang mengajak segenap guru dan siswa untuk bermain dengan apik dalam membocorkan jawaban-jawaban soal-soal ujian. Kekhawatiran dan ketakukan itu alhasil menjadi “noda hitam” yang terus menerus terlihat disepanjang sejarah negeri ini. Entah, pelajaran agama ada tidak disana? Yang selalu membayang-bayangi kita semua. Mungkin, hanya demi nilai 100% kelulusan untuk sekolah tercinta. Seandainya kita semua mengetahui balasan apa yang akan kita peroleh tentang kelakuan-kelakuan kita, mungkin saat ini juga kita akan jera. Namun, Allah memberi kita akal pikiran dan hati untuk merenungi dan memikirkannya. Karena, soal yang selalu keluar dikala ujian adala SOAL KEJUJURAN.
Indonesia, ayo kita bangkit, bangkit dari keterpurukan “budaya” yang menggerogoti bangsa kita ini. Supaya tidak terjadi lagi, para akademisi negeri ini yang berpangkat “koruptor” dan agen-agen keburukan. Jadilah “Power Ranger” yang selalu mengemban misi menegakkan keadilan di dunia. Selamat menempuh ujian.